Selalu ada kisah di balik panggung. Kisah-kisah yang bermuara pada kesuksesan sebuah pesta. ”Saya belum puas,” kata Lidwina Marcella, relawan program ”Earth Hour”—satu jam tanpa penerangan listrik yang akan dilakukan di Jakarta, Sabtu (28/3) pada pukul 20.30-21.30.
Mahasiswi London School of Public Relations (LSPR) itu mengomandani puluhan temannya dalam Climate Change Champion Club LSPR, menyosialisasikan program yang digalang WWF-Indonesia. Konsumsi listrik turut mengemisikan karbon dioksida, unsur utama pembentuk gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.
Namanya relawan, tanpa dibayar. Yang ada malah pengeluaran, seperti para mahasiswa LSPR itu. Setidaknya, dana Rp 3 juta dari kampus disiapkan bagi kampanye. Hasilnya, pengelola kawasan Sudirman Park, lokasi kampus LSPR Jakarta, mau mengadopsi program setelah paparan Lidwina dan kawan-kawan.
Sepekan penuh, mereka secara bergiliran menjaga stan kampanye di kawasan Sudirman Park; menggalang dukungan sekaligus rela menerima penolakan. Satu per satu, 2.310 fotokopian brosur disebarkan, termasuk menyelipkannya di pintu kamar apartemen.
Hasilnya, sejumlah penyewa lahan siap bergabung. Begitu pun sejumlah penghuni. ”Ada juga yang menolak. Tidak apa-apa,” katanya yang bersama teman-temannya sempat berkunjung ke almamater SMA masing-masing.
Relawan lain adalah Galih Aristo (28), art director sebuah studio kreatif. Tak cukup menggalang long march dukungan di jalan-jalan utama di Jakarta, bersama satu rekannya, Rabu lalu, ia menyusuri Jalan Sudirman.
Satu per satu, gedung-gedung perkantoran di kanan-kiri pusat niaga Jakarta mereka datangi. Ribuan lembar poster dukungan mereka bagikan ke pengelola gedung. ”Kami susuri dari pukul sembilan pagi hingga lima sore,” kata penggiat Energy Troops itu.
Media facebook
Lain lagi Lala Sudewo, relawan WWF-Indonesia. Ia galang dukungan melalui situs jaringan sosial facebook. ”Enggak banyak sih, 97 orang yang menyatakan dukungan,” kata perekrut utama itu, Kamis (26/3).
Kampanye melalui facebook juga dilakukan Anisa, ibu rumah tangga, yang mendorong ketiga anaknya yang belasan tahun untuk peduli lingkungan. Tak hanya secara virtual, ia pun mendorong anggota komunitas yang ia ikuti untuk bergabung.
Dukungan juga datang dari berbagai komunitas, seperti Abang-None Jakarta. Mereka turut melobi banyak pihak melalui jaringan mereka.
Para relawan, seperti diakui Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia Fitrian Ardiansyah, amat berperan bagi kampanye-kampanye, seperti program ”Earth Hour”. ”Mereka militan sekalipun kami tidak membayarnya,” katanya.
Sejumlah relawan bahkan minta izin memperbanyak brosur, spanduk, atau poster atas biaya sendiri. Sungguh di luar dugaan dan memberi harapan. Berbeda dengan kampanye-kampanye politik saat ini yang beraroma politik uang.
Kini, Pemprov DKI Jakarta mendukung program itu. Penerangan Monas, Gedung Balaikota, Patung Pemuda, Arjuna Wiwaha, dan Bundaran Hotel Indonesia akan dimatikan sebagian. Sejumlah hotel dan perkantoran swasta pun akan terlibat.
Ini program pertama di Indonesia. Keterlibatan para relawan dengan berbagai latar belakang menjadi modal utama sekaligus pendorong semangat.
Keberadaan mereka juga merupakan indikasi bahwa di antara kita masih ada yang peduli pada lingkungan di sekitarnya. Jika banyak orang seperti mereka, mungkin akan ada setitik harapan bahwa bumi tak akan hancur (?)
Namun, di antara alasan keterlibatan itu, ada satu hal yang indah: peduli dari dalam diri sendiri.
sumber : Laporan wartawan KOMPAS Gesit Ariyanto
kompas.com